MG-Aestine Christy Moderator
Community Anak Bangsa Jumlah posting : 243 Points : 1802 Reputation : 596 Join date : 30.12.10 Age : 33 Lokasi : Bandung
| Subyek: Jodoh dari Dapur ke Dangdut Sun Feb 20, 2011 6:10 pm | |
| - Quote :
- Tradisi gredoan masyarakat subkultur Using, Banyuwangi, Jawa Timur, dilahirkan sebagai instrumen untuk mempertemukan lelaki dan perempuan sebagai proses menuju perjodohan secara bermartabat. Tradisi itu kini mengalami pergeseran.
Mar’ati (38) masih ingat jelas tatkala diadakan gredoan di kampungnya, Dusun Banyuputih, Desa Macanputih, Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi. Sebagai seorang gadis yang sedang mekar berumur 15-17 tahun, ia selalu berada di dapur membantu memasak sambil menanti digredo (tepatnya ditaksir) para pemuda.
Para pemuda mengintip dirinya lebih dulu dari celah dinding gedek (anyaman bambu). Kemudian, para pemuda secara bergantian masuk melalui dapur dan berkenalan. Kalau salah seorang pemuda merasa cocok dengan dirinya, esok harinya pemuda itu datang ke rumahnya. ”Dulu, ya, banyak yang naksir saya, tetapi akhirnya saya menikah tidak dari gredoan,” kata Mar’ati. Dia menikah dengan Nurudin, teman sekantornya, tahun 1991.
Peristiwa itu terjadi tahun 1988 sampai 1990. Fenomena gredoan—seorang pemuda bertemu dengan gadis atau janda di dapur, bersalaman, dan ngobrol—berbeda dengan fenomena tahun 1960-an.
KH Nur Muttohir (77), tokoh masyarakat Desa Macanputih, masih ingat gredoan itu dilakukan dengan pihak lelaki mengintip melalui celah dinding gedek kemudian memasukkan lidi. Si wanita memotong ujung lidi pertanda setuju digredo. Lantas, terjadi percakapan yang dibatasi dinding dengan cara basanan atau berpantun. Jika setuju, esoknya si lelaki datang melanjutkan hubungan. ”Kalau kedua pihak setuju, tak perlu lama lagi mereka menikah,” katanya.
”Acara gredoan memang setiap tahun diadakan. Tetapi, model seperti zaman saya muda sudah tidak ada lagi. Kan sekarang sudah hampir tidak ada rumah berdinding gedek. Sekarang sudah banyak media untuk cewek dan cowok berkenalan,” ujar Mar’ati.
Format gredoan pada awal abad ke-21 ini memang berubah, seperti yang terjadi Senin (14/2/2011) malam. Seorang lelaki menggredo perempuan di sekitar panggung musik dangdut. Tidak ada bedanya dengan gaya gaul anak-anak muda pada umumnya di tempat lain. ”Sekarang, kalau ceweknya mau, ya, tukar-tukaran nomor handphone,” ujar Ny Sumarni, istri Kepala Desa Macanputih Muhammad Farid.
Gredoan berasal dari bahasa Using, ”gredu”, atau bahasa Jawa kuno, ”gridu”, yang berarti menggoda. Merupakan tradisi masyarakat Using, suatu subkultur di Jawa Timur di samping subkultur Arek, Mataraman, Madura, Pendalungan, dan Tengger. Masyarakat subkultur Using merupakan mayoritas penduduk Banyuwangi. Secara fisik tidak ada bedanya antara masyarakat Using dan Jawa. Ciri utamanya adalah dialeknya.
Adapun gredoan hanya ada di empat desa, yaitu Cangkring, Kecamatan Rogojampi, dan tiga desa di Kecamatan Kabat, yaitu Desa Gombolirang, Macanputih, dan Tambong. Namun, di Cangkring beberapa tahun ini tidak diadakan gredoan. Tahun ini Gombolirang dan Tambong juga absen karena gagal panen padi akibat diserang wereng coklat.
Praktis, tinggal Desa Macanputih yang tahun ini mengadakan gredoan, yaitu Dusun Banyuputih dan Dusun Macanputih Krajan, yang akan digelar 5 Maret mendatang. ”Kalau Macanputih tidak pernah absen. Waktunya pun tetap. Malam 12 Maulud untuk Banyuputih dan akhir Maulud untuk Macanputih Krajan,” ujar Muhammad Farid.
Koreksi pranata sosial
Tidak ada satu orang pun yang dapat memastikan kapan tradisi gredoan mulai digelar. Budayawan Using, Hasnan Singodimayan, mengatakan, tradisi itu sudah tua. Pada awal tahun 1960-an dia sudah ikut gredoan.
Di desa-desa itu, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW atau muludan yang dipelihara masyarakat Banyuwangi sampai sekarang dijadikan sarana untuk silaturahim. Di samping memberikan nasi dan penganan kepada saudara yang tinggal di luar desa, juga dipakai sebagai momentum mengumpulkan sanak famili atau reuni. Karena memasak untuk pesta muludan butuh tenaga banyak, didatangkan sanak kerabat untuk rewang (membantu).
Acara reuni ini lantas dijadikan momentum untuk menjodohkan anak-anak mereka. Para tetua memfasilitasi agar mereka saling kenal, tetapi tak melanggar norma agama. Karena itu, perkenalan di antara mereka pun dibatasi dinding.
Gredoan ini sekaligus mencegah orangtua memaksakan jodoh anak gadisnya karena pemaksaan sering berlanjut dengan munculnya colongan atau playoaken, yaitu lelaki melarikan gadis sampai akhirnya orangtua gadis mau menikahkan.
Gredoan juga sebagai koreksi atas pranata sosial tradisional lain, yaitu bathokan. Bathokan adalah ketika seorang gadis membuka warung agar dapat kenal dengan pria. ”Kalau di bathokan itu minimal bisa pegang tangan,” kata Hasnan yang semasa mudanya juga suka bathokan.
Dengan demikian, gredoan dianggap sebagai media perjodohan paling baik dan bermartabat. ”Diyakini pula jodoh yang didapat dari gredoan akan mendapat berkah karena diselenggarakan di bulan kelahiran Nabi,” kata Yudi, tokoh pemuda Desa Tambong.
”Saya yakin mendapat jodoh dari gredoan itu berkah, lebih awet. Saya sendiri juga memperoleh istri di gredoan,” kata Kepala Desa Tambong Zakaria.
Berbalik
Dalam perkembangan mutakhir, gredoan bergerak berbalik arah. Kini menjadi media atau fasilitas bertautnya lelaki-perempuan secara lebih bebas sehingga banyak warga Banyuputih yang mulai gerah. ”Saya tidak ikut gredoan. Cowok-cowok suka kasar. Minta kenalan, tetapi kalau ditolak marah,” kata Ida.
”Keluarga saya tidak suka gredoan. Waktu gadis saya juga tidak pernah ikut. Rasanya risi. Saya menikah dengan pacar saya saat sama-sama di SMP,” ujar Ny Hartatik yang menikah tahun 1997.
Sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Hotman M Siahaan, melihat perubahan gredoan dari ranah privat ke ranah publik akibat penetrasi komersialisasi bisnis. Terlihat di gredoan ada perusahaan yang menjadi sponsor, melibatkan media massa untuk tayang jualnya.
”Yang demikian ini fenomena umum di mana komersialisme mencari celah apa saja. Pranata tradisional dibingkai dalam komersialisasinya seperti dicari uniknya,” katanya.
Akhirnya, lanjut Hotman, yang terancam adalah kearifan lokal yang menjiwai pranata sosial tradisional itu. Sulit terjadi proses ”glokalisasi”, yaitu menguatnya pengaruh kearifan lokal menghadapi globalisasi karena dinding ”glokalisasi” tidak cukup kuat.
Untuk diikhlaskan mati seperti tradisi bathokan karena hanya memperburuk citra masyarakat Using, tampaknya tidak mudah karena gredoan modern mendapat penyangga baru, yaitu kekuatan modal dan komersial. Juga pemerintah setempat yang menjadikannya sebagai proyek pariwisata.
Semua terpulang kepada masyarakat Using sendiri. | |
|