Tuan rumah PD 2014, Brasil, memang tampak begitu
gemerlap jelang peluit dibunyikan nanti. Namun, mereka
tetap punya ketakutan tersendiri. Unggulan tak
selamanya sempurna.
OLEH YUDHA DANUJATMIKA Ikuti di twitter
This is Brazil!
Tentu takkan ada penggemar sepakbola yang berani
menyangsikan kehebatan Brasil. Ya, negeri Samba ini memang
sudah lama terkenal dengan kemahirannya bermain bola. Ikon-
ikon sepakbola segala generasi banyak yang lahir di sana,
seperti Pele, Ronaldo, dan Ronaldinho. Belum lagi ada lima
bintang di atas badge –juara dunia lima kali - yang
menyahihkan kualitas mereka dalam dunia sepakbola.
Jelang Piala Dunia 2014, tak heran kalau mereka jadi unggulan
teratas. Selain jadi tuan rumah, mereka juga memiliki skuat
mumpuni yang dilengkapi dengan permainan magis Neymar. Di
belakang layar, Selecao kembali dilatih oleh Luiz Felipe Scolari
yang membawa mereka jadi juara dunia pada 2002. Jadi
dengan ini, lengkap sudah alasan untuk menjagokan Brasil di
panggung sepakbola terbesar sejagad.
Namun kalau berani melihat lebih jauh, sejatinya langkah Brasil
takkan semulus yang kita bayangkan. Sedahsyat apapun,
sesempurna apapun sebuah tim, tentu memiliki kelemahan dan
ketakutan yang harus dihadapi, apalagi dalam pagelaran
sesakral Piala Dunia. Pada kesempatan inilah, Goal
Indonesia akan mengusut lima ketakutan Brasil di Piala Dunia 2014
Brasil memang bertabur bintang. Mereka punya Julio Cesar di
bawah mistar kotak penaltinya dikawal oleh pemain-pemain
sekelas Marcelo, Daniel Alves, Thiago Silva, dan David Luiz.
Pangeran Brasil saat ini, lagi-lagi Neymar, turut menghidupkan
skuat Brasil bersama dengan gelandang-gelandang berbakat
seperti Ramires, Oscar, Hernanes, ditambah dengan Hulk dan
Fred di ujung tombak.
Tapi tunggu sebentar, apakah Anda merasa ada yang aneh
dengan nama-nama di atas? Sebenarnya, hanya beberapa di
antara nama-nama tersebut yang ikut serta dalam Piala Dunia
2010. Ya, skuat Brasil kali ini – bisa dikatakan – lebih
banyak memuat nama-nama ‘asing’.
Pencoretan Kaka dan Ronaldinho sendiri sempat memicu
perdebatan setelah 23 nama diumumkan oleh Scolari. Betapa
tidak, masih banyak orang yang yakin bahwa Brasil butuh
pelayanan dari sosok berkharisma dan berpengalaman dalam
skuatnya. Minimnya pemain berpengalaman – terutama di
area tengah dan depan – bisa jadi faktor pengganjal mereka
di pagelaran sebesar PD dan inilah ketakutan pertama mereka.
Tampil di kandang sendiri adalah satu keunggulan dalam
pertandingan sepakbola. Kesebelasan tuan rumah umumnya
sudah lebih paham kondisi lapangan dan –khusus untuk kasus
Brasil – cuaca di daerah tersebut. Dukungan suporter lokal
pun turut meningkatkan moral tim tuan rumah. Namun, dalam
pagelaran sebesar Piala Dunia kata ‘keunggulan’ sepertinya
perlu dikaji ulang.
Bermain di negara sendiri sebenarnya seperti bermain-main
dengan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa
menguntungkan, tapi ia bisa juga melukai sang pengguna. Hal
tersebut bisa dilihat dalam Piala Dunia Brasil kali ini. Tampil di
hadapan publik sendiri, jangankan termotivasi, skuat muda
Brasil justru berpotensi untuk terbebani dengan tekanan yang
ada. Hal ini wajar terjadi, mengingat Selecao telah menunggu
lama untuk mendapatkan gelar dunia keenam mereka. Skuat kali
inipun dinilai mampu untuk mewujudkan hasrat orang-orang
Brasil, pantas kalau harapan fan melambung tinggi.
Di balik dukungan fisik dan mental, ada tuntutan setinggi langit
dan inilah yang kiranya menjadi ketakutan kedua Brasil. Scolari
sebagai otak tim wajib meredam ketakutan tersebut atau
bahkan mengubahnya menjadi satu motivasi yang positif.
Sebab, hasil selain juara dunia takkan dimaafkan. Welcome to
Brazil!
Di edisi kali ini, Brasil terdampar di grup yang mudah. Betapa
tidak, tim yang paling dijagokan justru dipertemukan dengan
tim peringkat 18 (Kroasia), 20 (Meksiko), dan 56 (Kamerun) di
turnamen. Sejak hasil undian dipaparkan, orang-orang sontak
menjamin Brasil lolos ke babak selanjutnya.
Tapi apa yang dihadapi Brasil selanjutnya adalah mimpi buruk
mereka. Grup sebelah – yang berpeluang bertemu dengan
Brasil di 16 besar – memuat Spanyol dan Belanda sebagai
unggulan. Spanyol masih jadi unggulan mengingat merekalah
yang jadi juara empat tahun lalu. Sementara itu, Belanda lebih
menebar teror karena pertandingan melawan mereka akan
membangkitkan ingatan buruk di Afrika Selatan. Tepatnya,
Brasil takluk di kaki Belanda saat keduanya bertemu di
perempat final.
Ketika lolos dari level ini, Brasil masih akan dihadang oleh klub-
klub kuat lainnya. Sebut saja Italia, Inggris, Uruguay, atau
Jerman yang berada dalam blok yang sama. Dengan kata lain,
masa-masa mudah Brasil hanya ada di babak grup.
Selanjutnya? Neraka…dan inilah ketakutan ketiga yang harus
diantisipasi Brasil.
Tiada gading yang tak retak. Di Brasil 2014, pepatah lawas
ini pun masih berlaku. Brasil memang jadi tim unggulan karena
mereka tim yang komplit dari bawah mistar hingga ujung
tombak. Kendati begitu, mereka tetap perlu mewaspadai
beberapa hal kecil yang berpotensi menjadi pengganjal
mereka, bahkan sejak babak grup.
Kelemahan skuat Scolari umumnya sama dengan klub-klub
yang menerapkan gegenpressen dalam permainannya. Hal
tersebut sekilas tampak dalam kemenangan 3-0 Brasil atas
Spanyol di Piala Konfederasi. Gegepressen versi Scolari –
walau galak dalam mengejar bola – memiliki saat-saat genting
ketika bola ada di luar kotak penalti: sepersekian detik selalu
ada ruang tembak yang tercipta. Ya, mereka memang bisa
meredam tiki-taka, namun mereka kesulitan menghalau
sepakan-sepakan spekulatif dari kotak penalti.
Statistik pun berkata demikian. Dari total 32 tim yang berlaga
di Piala Dunia, Brasil adalah tim ke-31 dalam konteks
pertahanan tembakan jarak jauh. Hanya Nigeria yang
kebobolan lebih banyak dari tembakan jarak jauh. Dan jangan
lupa, di babak grup saja, Brasil harus menghadapi pemain
dengan sepakan jarak jauh mematikan sekelas Luka Modric.
Waspadalah, Brasil!
Jelang Piala Dunia, protes merebak di Rio de Janeiro dan
sekitarnya. Pihak yang tidak setuju dengan penyelenggaraan
PD melakukan aksi unjuk rasa. Sebagian besar dari mereka
merasa, yang mereka butuhkan bukanlah PD melainkan jaminan
kesehatan, pendidikan, dll. Tak mendapat tanggapan serius,
mereka pun mulai melayangkan dukungan pada Argentina –
rival terbesar Brasil di Amerika Selatan. Beruntung tidak ada
anarki, tapi sebagian sumber mengatakan, ada sedikit huru-
hara di Sao Paulo.
Bila dilihat sekilas, memang permasalahan sosial ini tidak
bersinggungan langsung dengan timnas Brasil. Protes yang
dilakukan memang dijamin tidak mengganggu jalannya
pertandingan di stadion-stadion nantinya. Namun, efek
domino bisa menjadi masalah bagi skuat Brasil.
Contoh nyata ialah kerusuhan di Moskwa pada PD 2002.
Memang, latar belakang permasalahan Rusia saat itu berbeda
dengan Brasil. Bukan tidak mungkin, kerusuhan yang terjadi
akan ‘menghukum’ timnas Brasil. Peliknya lagi, Neymar dkk tidak
punya kontrol khusus dalam permasalahan ini.